Tambang Ancam SMPN 13 Samarinda
SAMARINDA – vivaborneo.com, Akitifitas tambang
batubara dan kegiatan cut and field untuk perumahan di belakang SMPN 13
Samarinda di Lempake tidak hanya menganggu proses belajar dan mengajar,
tapi juga bisa mengancam keberadaan sekolah tersebut dimasa mendatang.
Bagian bangunan sekolah yang sudah tidak bisa lagi difungsikan akibat
ancama banjir dari kegiatan tambang batubara dan kegiatan cut and field
adalah bangunan administrasi sekolah dan kepala sekolah dan ruang guru.
Sedangkan dari 18 ruang kelas belajar, tujuh diantaranya bakal tenggelam
bila tidak ditinggikan dalam waktu dekat.

Hal
itu dikatakan Kepala SMPN 13 Samarinda, Suryanto ketika dikonfirmasi
keberadaan sekolahnya setelah ada aktifitas penambangan batubara dan
pembukaan kawasan perumahan di dekat sekolahnya. “Sekolah saya itu
setiap hujan datang dihantam banjir lumpur,” ujarnya.
Dikatakan, keadaan sekolahnya itu sudah dilaporkan ke Bidang Sarana
Dinas Pendidikan Kota Samarinda. Untuk tahun ini ada digelontorkan dana
sebesar Rp 500 juta untuk meninggikan lantai bangunan untuk ruang guru,
administrasi, dan ruang kepala sekolah. “Pengerjaannya belum karena
masih dalam proses lelang,” ujarnya.
Untuk tahun selanjutnya, Suryanto berharap ada tambahan dana untuk meninggikan tujuh ruang belajar sebab posisinya juga rendah.
“Dari 18 kelas yang kita punya, 7 kelas paling rendah posisinya.
Kalau tidak ditinggikan bisa-bisa nanti kelas itu dipenuhi pasir setiap
hujan datang,” paparnya.
Perusahaan tambang batubara yang aktif melakukan eksploitasi di
Kelurahan Lempake tercatat antara lain PT Putra Nusantara Jaya, PT
Mahakam Sarana Energi, dan CV Tri Mulia Abadi. Ketiga perusahaan
tersebut sudah berkali-kali dikomplain warga Lempake sebagai penyebab
banjir dan rusaknya jalan umum, tapi tidak sekalipun ada bimbingan
teknis dari Dinas Pertambangan dan Energi Samarinda dan Badan Pengelola
Lingkungan Hidup turun ke lapangan memeriksa aktifitas ketiga perusahaan
tersebut.
Saat ini Kecamatan Samarinda Utara termasuk kecamatan yang paling
rawan bencana banjir dan tanah longsor akibat adanya perubahan bentang
alam, baik karena aktifitas tambang batubara maupun dibukanya kawasan
untuk perumahan. Dari lima titik rawan banjir di Samarinda Utara
tersebut, ada dua titik paling parah, yakni perempatan Jl KH Wahid
Hasyim di Kelurahan Sempaja Selatan dan di jalan poros Lempake.
Banjir di perempatan Jl KH Wahid Hasyim menggenangi jalan KH Wahid
Hasyim hingga 1000 meter ke Jl A Wahab Syahrani. Warga yang paling
menderita adalah yang tinggal di Jl A Wahab Syahrani IV. Sedangkan
banjir di jalan poros Lempake menggenangi pemukiman warga di empat rukun
tetangga, masing-masing RT 9, 13, 14, dan 15. Setiap curah hujan tinggi
sekitar 300 rumah dimasuki air. Ketinggian air dari permukaan jalan
yang sudah ditinggikan berkisar antara 30-50 cm.
“Setelah jalan di Lempake ditinggikan, masih tetap terendam air bila
hujan lebat turun. Banjir selain menggenangi pemukiman penduduk juga
menganggu proses belajar dan mengajar di SMPN 13 Lempake,” kata Camata
Samarinda Utara Yanuar Rahmadani.
Menurut Yanuar, tiga titik rawan bajir lainnya juga berada di Sempaja
Selatan yakni di jalan masuk ke Bengkuring sebanyak dua titik dan satu
titik lagi ke Bengkuring Raya, yakni diseputar jalan Kastela. Sedangkan
kawasan rawan longsor adalah di areal tambang Lana Harita, Sungai
Siring.
“Kalau ada tanggul bekas galian tambang jebol, warga juga terkena dampak banjir lumpur,” kata Yanuar.
Kelurahan Lempake kini menjadi kawasan paling rawan bajir karena
adanya aktifitas tambang dan pembukaan kawasan untuk perumahan yang
meangkibatkan pendangkalan sungai-sungai yang hulunya di Tanah Merah dan
melewati KRUS hingga ke depan Kantor Kelurahan Lempake.
Menurut Yanuar, dia sangat banyak menerima komplain dari masyarakat
akibat adanya aktivitas penambangan batubara. Ada warga yang mendesak
camat untuk menghentikan aktivitas tambang dan ada pula yang minta camat
menghentikan keluar masuknya truk kontainer ke jalan lingkungan, serta
minta pula camat menjadi mediator apabila ada sengketa antara warga
dengan pengusaha tambang.
“Tapi semua permintaan warga itu tidak bisa dipenuhi camat sebab sekarang camat bukan lagi kepala wilayah,” ungkapnya.
Dikatakan pula, kewenangan camat sudah dipangkas sejak adanya UU No
32 Tahun 2004. Camat sekarang tak lebih dari staf dari SKPD Pemerintah
Kota Samarinda. Dari itu kalau ada komplain dari masyarakat soal
tambang dianjurkan menyampaikan ke Dinas Pertambangan. Kalau keberatan
truk kontainer masuj jalan lingkungan silakan lapor ke Dinas
Perhubungan.
“Tugas camat sekarang lebih pada tugas administratif saja,” kata Yanuar.
Lurah Lempake, Djoko ketika dikonfirmasi membenarkan kini wilayah
pemukiman warganya paling rawan banjir. Ketinggian air setiap kali
banjir di jalan poros hingga 75 cm, sedangkan di rumah-rumah penduduk
bisa ampai 50 cm. Jalan lebih terendam karena posisinya lebih rendah
dari lahan persawahan dan pemukiman penduduk.
“Setelah banjir besar bulan lalu, terpaksa pemerintah kota
memperbaiki lagi jalan yang rusak. Sedangkan Pemprov Kaltim juga
berpartisipasi melakukan pembersihan di anak-anak sungai,” kata Djoko.
Ia juga membenarkan, setiap kali banjir datang, surutnya memakan
waktu satu hari lebih. Yang paling lambat surutnya adalah genangan air
di jalanan. Sedangkan banjir yang juga menggenangi SMPN 13 Lempake juga
sangat meganggu aktifitas belajar dan mengajar. Kalau banjir datang,
siswa terpaksa pulang lewat kebun-kebun penduduk karena jalanan sudah
terendam air setinggi 75 cm.
“Ada orangtua terpaksa menggendong anaknya pulang lewat kebun,” ujar Djoko.
(vivaborneo/to)